Sebagian besar orang masih menyepelekan penyakit Gerd. Sebab, jarang diketahui kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit Gerd ini. Padahal, ia bisa berkembang menjadi keganasan sampai bisa menjadi kanker dan biaya pengobatannya pun cenderung semakin mahal karena diperlukan pengobatan yang berulang.
Hal tersebut membuat penelitian tentang penyakit Gerd ini menarik untuk dilakukan karena sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengobatan maupun untuk lebih meyakinkan apa sebenarnya penyebab utama Gerd. Selain itu juga agar dapat mengurangi terjadinya Gerd pada pasien baru dan meminimalisir kekambuhannya.
"Pada penelitian dokter Tena melalui animal study, karena memang tidak memungkinkan bila dilakukan pada pada manusia. Menggunakan model tikus yang dibuat sedimikian rupa, cekokin segala macam, asam, sampai akhirnya tikus bisa menjadi Gerd," kata Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD, KGEH, MMB.
Prof Ari, sebagai promotor dari penelitian ini juga mengatakan, ternyata pada tikus-tikus tersebut ada faktor NO Luminal. Kandungan tersebut, terutama pada makanan, banyak ditemukan pada daging merah, daging olahan, makanan dengan pengawet, seperti sosis, yang ternyata mengandung NO yang tinggi.
Penelitian ini membuktikan bahwa ternyata NO Luminal ini akan menyebabkan terjadinya peradangan. Lalu secara struktur terjadi penebalan, pembengkakan dan segala macam di kerongkongan.
"Ternyata faktor racunnya juga meningkat. NO itu menyebabkan anti-oksisannya menurun. Dari situlah dibangun teori ini untuk membuktikan ternyata NO Luminal itu bisa berhubungan dengan faktor-faktor tadi. Pesannya untuk masyarakat bahwa ternyata yang selama ini kita para dokter anjurkan untuk orang-orang tidak boleh makan terlalu banyak lemak, dan sebagainya ini membuat lemahnya sfingter itu tidak bisa nutup normal sehingga Gerd, dan ini dibuktikan," jelasnya.
"Menelitinya dari senyawa nitrat, ini banyak di pasaran, dari ikan asin, daging dengdeng, dan masih banyak lagi. Ternyata senyawa nitrat ini masuk ke lambung, usus halus diserap dan sekitar 25% masuk aliran darah ke bagian rongga mulut, dan nitrat bereaksi dengan bakteri yang ada di mulut, berubah jadi nitrit. Kemudian berubah lagi jadi NO. Ditemukan kadar NO tinggi di perbatasan antara osofagus dan lambung. Ini titiknya," jelas sang peneliti, Tena Djuartina.
(Sumber: Google) |
"Selama ini kita ngobatin pasien tuh menekan asam lambung, dengan menurunkan asam lambung. Dengan penelitian ini, perlu terobosan bagaimana orang bisa mencegah dengan obat anti NO misalnya, sehingga NO nya tidak bereaksi. Dengan penelitian ini diharapkan bisa difikirkan apa sih hal yang bisa dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi peradangan, dan tidak terbentuk NO misalnya pada manusia," tambah Prof Ari.
Tapi perlu diingat, bukan kita tidak boleh makan daging. Prinsipnya semua akan terjadi jika konsumsinya berlebihan.
Tentunya jika sedang mengalami Gerd, berhentilah sementara untuk menonsumsi makanan yang mengandung senyawa nitrat tinggi. Prof Ari menegaskan, daging tetap dibutuhkan, namun tak kalah penting, hindari makanan yang diawetkan.
Tentunya jika sedang mengalami Gerd, berhentilah sementara untuk menonsumsi makanan yang mengandung senyawa nitrat tinggi. Prof Ari menegaskan, daging tetap dibutuhkan, namun tak kalah penting, hindari makanan yang diawetkan.
"Makanan tertentu memperburuk keadaan. Prinsipnya, apa saja yang berlebihan akan menghasilkan dampak buruk. Jika sudah makan daging olahan berlebihan, punya kebiasaan buruk seperti merokok dan lainnya, yang semula enggak mungkin Gerd, bisa jadi Gerd. Faktor genetik belum ditemukan. Banyaknya ditemukan dari faktor makanan," tutupnya.
Sumber: akurat
Sumber: akurat
Komentar
Posting Komentar