(Sumber: theindonesianinstitute.com) |
Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dibentuk oleh MPR. GBHN dilakukan pada pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurahman Wahid.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan tidak ada urgensi terkait menghidupkan kembali GBHN.
Dulu, saat sistem pemerintahan Indonesia masih parlementer, GBHN digunakan bukan hanya untuk memilih Presiden, namun juga untuk menjatuhkan Presiden. Namun, saat ini hal tersebut tidak berlaku karena sistem pemerintahan saat ini Presidensil.
"Pertanyaan kritisnya, kalau memang ada, gunanya untuk apa?" ujar Bivitri.
Bivitri Susanti (Sumber: kompas.com) |
Ia mengatakan, GBHN tidak relevan dengan sistem tata negara saat ini. Karena menurutnya, saat ini presiden dipilih oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR.
"Karena dulu sebelum amandemen 2002, itu adalah mandat karena presiden dipilih oleh MPR. Tapi kalau sekarang sudah dipilih oleh rakyat," ujarnya.
Selain segi dana ongkos politik, Bivitri menganggap menghidupkan kembali GBHN terkesan ngotot, karena tidak ada dampaknya untuk rakyat.
"Yang harus kita ingat, sekali peluang amandemen ini dibuka, bisa seperti kotak Pandora," tandasnya.
Sumber: akurat.com
Komentar
Posting Komentar