(Sumber: pks.id) |
Wakil Ketua MPR dari fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, menyatakan bahwa partainya konsisten menjadi oposisi pemerintah pada periode pemerintahan 2019-2024.
"Kami PKS, sudah memutuskan berada di luar kabinet. Kami berada sebagai oposisi apapun namanya. Dan kami sampaikan bahwa berada di luar kabinet, berada menjadi oposisi, tidak semaunya masuk dalam koalisi, itu juga justru menyelamatkan demokrasi," kata Hidayat.
"Karena kalau demokrasi artinya semua orang bergabung di pemerintahan, lah terus siapa yang melakukan check and balance? Kami menyediakan diri untuk menjadi yang meningkatkan dan menyelamatkan marwah demokrasi dengan berada di oposisi itu," tambah Hidayat.
PKS menghormati pihak pemenang Pemilu 2019. Pada pemilu 2019 lalu, PKS berkoalisi dengan Gerindra mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
(Sumber: tirto.id) |
"Sekali lagi, kami menghormati rasionalisasi dasar daripada pemilu, yaitu kalau yang menang silakan memimpin. Rasionalnya kan begitu. Kalau yang belum menang ya rasionalnya kami berada di luar. PKS melakukan semacam itu. Karenanya, jangan sampai kemudian kalau bertemu artinya PKS minta untuk koalisi, ya enggak lah. PKS minta menteri, apalagi," ungkap Hidayat.
Ia menilai bahkan kursi menteri untuk partai pendukung Jokowi-Ma'ruf saja masih kurang, apalagi masing-masing sudah mengajukan banyak calon.
"Silakan berikan itu kepada pendukung Pak Jokowi. Kami, saya PKS, yang kemarin bukan koalisi Pak Jokowi, kami berada di luar kabinet untuk menyelamatkan dan meningkatkan kualitas berdemokrasi," tambah Hidayat.
Namun, Hidayat tidak menutup kemungkinan PKS bertemu dengan Presiden Jokowi, persoalannya adalah kapan waktu terbaik untuk pertemuan tersebut.
Joko Widodo dan Ma'ruf Amin (Sumber: suaramerdeka.com) |
"Ya (pertemuan) setelah kemudian tidak ada kegaduhan terkait masalah minta jabatan menteri, koalisi, dan sebagainya," ungkap Hidayat.
Hidayat menegaskan, bahwa tidak apa-apa bila PKS bertindak sendirian sebagai oposisi di DPR.
"Dalam sistem presidensial semacam ini seharusnya seluruh anggota DPR itu melakukan kontrol. Kalau program pemerintahnya tidak bagus, bermasalah, anda lihat rapat-rapat di komisi semuanya begitu kritis terhadap program pemerintah. Jadi kami tidak takut sendirian karena pada hakikatnya nanti kawan-kawan kami anggota DPR akan melakukan kritik terhadap hal-hal yang tidak sesuai dari yang seharusnya atau janji kampanye," jelas Hidayat.
Presiden Jokowi tampaknya membuka ruang untuk kubu oposisi bergabung dalam kabinet. Apalagi Presiden pada pekan lalu bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
(Sumber: Google) |
Usai melakukan pertemuan dengan Jokowi, Prabowo sudah melakukan safari politik ke sejumlah ketua umum partai koalisi Jokowi.
"Secara prinsip, PKS biasa diundang dan biasa mengundang. Kita berpolitik itu bersilaturahim, tapi timing juga dipentingkan. Jangan sampai kesannya ada pertemuan, kemudian artinya mau koalisi, mau gabung, minta menteri, padahal katanya komposisi menteri antara profesional partai dan profesional non-partai," ucap Hidayat.
Bila jatah untuk partai hanya 40% dari total jumlah kabinet, maka dengan 34 kementerian berarti hanya ada sekitar 16 menteri untuk partai. Padahal partai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin lebih dari 6 partai.
"Saya tahu ada keinginan (pertemuan Jokowi-PKS) ini. Presiden PKS sudah memberikan jawabannya. Pertemuan itu baik-baik saja, tapi timing-nya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya supaya tidak menimbulkan salah paham," tambah Hidayat.
Sumber: akurat.co
Komentar
Posting Komentar