Langsung ke konten utama

Penyelewengan Ritual Tenggeng, Ajang Seks Bebas di Pegunungan Papua


(Sumber: Google)


Tenggeng, atau sekarang popular dengan istilah tukar gelang, merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Papua Pegunungan, yang masih belum terjamah budaya luar termasuk agama, terlebih infrastruktur seperti sekarang.

Bila saat ini kita mengunjungi Papua Pegunungan dan menanyakan Tenggeng, mayoritas muda-mudi di sana pasti geleng kepala. Ada 3 makna dari isyarat tubuh ini. Pertama, bisa jadi betul-betul tak tahu. Kedua, pura-pura tidak tahu. Ketiga, sudah tak ada tapi pernah mendengar pertanyaan itu. 

Di awal tahun 2011, beberapa pemuda masih terbuka untuk membicarakan Tenggeng. Mereka berceloteh ihwal apa yang dilakukan dan dirasakan saat Tenggeng berlangsung. Hanya berselang 5 tahun kemudian, muda-mudi di sana hanya tersenyum saat ditanya Tenggeng. Selebihnya, memilih geleng kepala ketika ditanya.

Tenggeng merupakan ajang pencarian jodoh masyarakat Papua Pegunungan, yang kala itu belum mengenal ikatan perkawinan. Tenggeng digelar di sela-sela ritual acara kematian. 

Makna awal Tenggeng sebenarnya bagus, antara lain ajang silaturahmi sekaligus menghibur keluarga yang tengah lara saat ditinggal mati anggota keluarganya. 

Seluruh keluarga, terutama muda-mudi dari beberapa kelompok honai, atau rumah tradisional Papua, saat ada kematian, semalaman berkumpul, berbaur sambil membawa hasil pertaniannya masing-masing untuk kemudian diserahkan ke keluarga yang tengah berduka. Mereka membentuk lingkaran bersama keluarga yang tengah berduka dalam ‘honai duka’ mengitari bara api yang terus mengelun di tengah.

Di sela-sela ritual itulah, bila di antara mereka memiliki anak yang sudah beranjak dewasa, berkesempatan untuk dijodohkan. Perjodohan yang disaksikan orang tuanya masing masing diakhiri dengan acara tukar gelang. Gelang terbuat dari anyaman akar kayu khas Papua, mirip rotan.

Khusus yang bertukar gelang adalah putra putri mereka yang kebetulan sudah beranjak dewasa. Kedewasaan gadis di masyarakat Papua Pegunungan bisa dilihat dari pertumbuhan bagian dadanya, sementara untuk pria dilihat dari kepemilikan babi piaraannya.

Kepemilikan babi bisa dilihat dari jumlah gelang yang mereka tukar dalam acara itu. Bahkan, jumlah gelang bisa diartikan seberapa seriusnya mereka akan melangsungkan hidup bersama dan jumlah ekor babi yang akan diberikan sebagai maharnya. 

Bagi masyarakat di sana, sampai sekarang, babi masih merupakan satu-satunya barang berharga. Masyarakat Papua Pegunungan mayoritas tidak begitu tertarik dengan logam mulia. Bahkan nilai babi sekarang harganya bisa mencarai Rp. 50 juta per ekor. Status sosial masyarakat Papua Pegunungan bisa dilihat dari seberapa banyak mereka memiliki babinya.


(Sumber: Google)


Kembali ke ritual Tenggeng. Ritual ini akan dilakukan berhari-hari dan berakhir ketika keluarga yang berduka tersebut 'sembuh'. Tenggeng dilakukan saat mentari mulai condong ke barat, karena pada siang harinya mereka beraktifitas seperti biasa di ladang.

Pertemuan itulah yang membuat perkenalan di antara mereka terus berlanjut. Bahkan bila keduanya sudah merasa cocok, perkenalan berlangsung sampai tingkat perkawinan, sekalipun di saat acara Tenggeng masih berlangsung. 

Tak perlu kehadiran penghulu, asal keduanya sudah menyatakan suka dan kedua orang tuanya merestui, maka kedua insan yang sudah tukar gelang langsung memisahkan diri dari lingkaran di honai. Mereka mencari honai terdekat yang ditinggal pemiliknya yang mengikuti acara Tenggeng. 

Apa yang mereka perbuat? Secara naluriah, bisa ditebak sendiri bila 2 manusia berada dalam suatu tempat yang tidak ada orang lain di dalamnya.

Lalu, mengapa masyarakat Papua Pegunungan menggelar Tenggeng di saat ada kematian? Bagi mereka, kematian adalah puncak kepedihan dari segala penderitaan yang mereka alami. Selain lara secara psikis akibat ditinggal anggota keluarga selamanya, juga secara fisik mereka akan mengalami rasa sakit.

Keluarga yang berduka, terutama kaum lelaki di Papua Pegunungan, harus merelakan jari tangannya untuk dipotong bersama-sama. Prosesi pemotongan jari disaksikan oleh tetangga sebagai persembahan, sekaligus merasakan sakit saat melepas roh dari jasadnya.

Selama jarinya belum sembuh, lelaki yang berduka tidak diperkenankan pergi ke ladang. Sebagai gantinya, tetangga siap menjamin semua kebutuhan sehari-harinya.

Maka jangan heran bila berkunjung ke Papua Pegunungan dan melihat kaum lelaki disana, jari mereka sudah tak lengkap. Semakin banyak jari tangan yang hilang, pertanda si pemilik tangan itu telah ditinggal mati banyak keluarga terdekatnya.

Kebiasaan itulah yang menjadikan masyarakat Papua Pegunungan begitu peduli pada keluarga yang tengah berduka. Mereka sukarela mengirim hasil pertanian untuk bekal selama keluarga ini belum pulih.

Tenggeng terus hidup mewarnai kerukunan dan rasa persaudaraan di antara mereka. Bagaimana sekarang? Tenggeng diam-diam terus dihidupkan, sekalipun makna dan tujuannya mulai bias. 



(Sumber: Google)


Pertemuan mereka kini tak sekedar menghibur keluarga kala berduka, tapi sudah menyimpang, mengarah ke ajang seks bebas. Bahkan terselip unsur bisnis. Seks bebas bercampur lembaran uang inilah yang kemudian mengotori makna Tenggeng yang sesungguhnya.

Tak hanya muda mudi, peserta Tenggeng berangsur mulai longgar dan menyimpang. Siapapun boleh ikut, termasuk mereka yang sudah beristri atau bahkan bersuami sekalipun. 

Gelang yang awalnya sebagai media perkenalan, lambat laun berubah menjadi lembaran uang. Semakin banyak nilai uang yang diberikan semakin besar kemungkinan bakal mendapatkan pasangan yang diidamkan. Tak peduli itu istri atau suami orang. 

Kebiasan terus berlanjut seolah sudah menjadi budaya masyarakat Papua Pegunungan. Pihak pemerintah maupun gereja di sana tidak bisa sepenuhnya menghapus kebiasaan yang sudah terlanjur mendarah daging ini.

Tenggeng yang pada awalnya terbuka dan melibatkan para orang tua, kini dilakukan secara tertutup. Sudah bisa ditebak apa yang dilakukan mereka. Suasana dingin Pegunungan Papua menjadi saksi bisu apa yang mereka lakukan dalam honai.

Bisa jadi, bila Papua mendapat julukan sebagai provinsi yang paling banyak penderita AIDS, ini akibat penyimpangan Tenggeng. Seks bebas tanpa ikatan, kini masih banyak dianut masyarakat di pedalaman Papua.

Sebetulnya Pemerintah Daerah Papua sejak awal sangat gencar memberantas penyimpangan tukar gelang ini. Selain berdampak buruk, terutama penyakit kotor, juga menjadikan masyarakat semakin tidak produktif. Bila kita berkunjung ke Kabupaten Tolikara, misalnya terlihat jelas peringatan seks bebas sudah mengancam masyarakat Papua.

Begitupun kebiasan potong jari, Pemda di sana sudah melarangnya. Budaya potong jari menjadikan mereka kurang produktif. Untuk pegang golok atau cangkul saja mereka sudah terlihat kesulitan akibat jari-jarinya sudah tak lengkap. 

Sekalipun sudah dilarang, namun karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan turun temurun, mereka secara semunyi-sembunyi tetap melakukan 2 ritual ini.

Bahkan untuk tukar gelang, kini mereka tak harus menunggu acara kematian. Kapanpun bisa dilakukan. Hal inilah yang menjadikan warga Papua Pegunungan bila ditanya Tenggeng hanya tersenyum sipu sambil geleng kepala.


Sumber: AyoBandung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ahok Bakal Jadi Ketua Tim Ibukota Baru, Kominfo: Itu Hoaks

Adakah Hubungan Alis dengan Kepribadian Seseorang?

Pasca Kebakaran, Pelabuhan Muara Baru Seperti Kota Mati