 |
| (Sumber: hellosehat.com) |
Industri makanan dan minuman (mamin) masih memilih menggunakan gula rafinasi dibandingkan gula lokal.
Beberapa kendala dalam gula lokal yakni adanya bakteri pada gula lokal dan suplainya yang tidak teratur ada. Selain itu, masalah harga membuat pengusaha makanan dan minuman, termasuk dodol, memilih gula impor.
Ketua Asosiasi Industri Kecil dan Menengah, Agro Suyono, mengatakan pengusaha mamin kelas kecil dan menengah masih membutuhkan impor gula rafinasi. Ia menjelaskan, ada 3 alasan gula rafinasi dari impor sulit digantikan gula lokal bagi industri mamin.
“Yang pertama, gula rafinasi itu tidak mengandung molasis, yaitu sampah mikro, bakteri dan kuman, yang masih menempel di gula. Ketika ada molasis, makanan akan cepat kedaluwarsa,” ujar Suyono, yang juga pengusaha dodol Garut.
Ia melanjutkan alasan kedua. Gula rafinasi selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan gula lokal, mesti menunggu musim panen yang pasokannya tidak selalu tersedia.
 |
| Gula lokal yang berwarna lebih kecokelatan (Sumber: .bukalapak.com) |
Ketiga, pengusaha juga mengeluhkan masalah harga. Suyono menyebutkan, harga gula lokal bisa lebih mahal hingga selisih Rp 2.000 per kilogramnya dengan gula rafinasi.
Jadi pengusaha lebih memilih gula rafinasi karena lebih murah. Pilihan menggunakan gula rafinasi impor, tidak serta-merta menunjukkan para pengusaha anti produk dalam negeri.
Menurut Suyono, pengusaha siap membeli gula dalam negeri jika kualitasnya sudah sama dengan gula rafinasi. Industri, terutama UMKM dihadapkan pada dilema harga gula impor yang lebih murah dan lebih berkualitas.
“Kami siap beli gula dalam negeri kalau kualitasnya sudah sama dengan rafinasi. Nasionalisme saya tidak perlu dipertanyakan lagi. Saya ini anak petani miskin asli Ciamis, saya juga ingin petani tebu Indonesia sejahtera,” jelasnya.
Mudah-mudahan pemerintah lebih memerhatikan lagi masalah ini agar petani tebu sejahtera dan pengusaha bisa menggunakan produk dalam negeri.
Sumber: akurat
Komentar
Posting Komentar