(Sumber: gatra.online) |
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menanggapi kebijakan Pemerintah yang membatasi akses penggunaan media sosial (medsos).
Medsos yang dibatasi ialah Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp, dan Line. Untuk sementara, medsos tersebut akan dibatasi mulai dari 22 Mei hingga 2 sampai 3 hari kedepannya.
Menurut Anggara, tindakan ini dilakukan terkait dengan kondisi di Jakarta, terutama Kantor Bawaslu dan KPU RI yang terus didatangi massa aksi unjuk rasa yang memprotes hasil Pemilihan Umum 2019.
"Pembatasan ini, menurut klaim pemerintah yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, adalah semata-mata dilakukan untuk mencegah provokasi hingga penyebaran berita bohong kepada masyarakat," ujar Anggara.
Lanjutnya, pemerintah menyatakan bahwa keputusan untuk membatasi akses ke medsos dan aplikasi pesan ini telah sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
(Sumber: dreamstime.com) |
"Kami, ICJR mempertanyakan inisiatif dari Pemerintah ini, karena tindakan pembatasan ini tidak diperlukan. Pembatasan tersebut jelas bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi," ujarnya.
Anggara mengatakan, hak untuk berkomunikasi dan menerima informasi di Indonesia sendiri telah diatur oleh Undang-undang.
"Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia," lanjut Anggara.
Anggara mengatakan, pembatasan akses terhadap medsos dan aplikasi pesan tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat.
"Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat," tutpnya.
Sumber: akurat.co
Komentar
Posting Komentar