Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh kasus tindak kriminal sadis oleh sarjana yang terjadi di di salah satu apartemen di Jakarta Pusat.
Diketahui, pelaku, selama kuliah tercatat sebagai mahasiswa pintar dan pernah mengikuti Olimpiade Kimia tingkat provinsi. Dia juga mengajar sejumlah mahasiswa di almamaternya dan beberapa kampus lain. Karena adanya pendemi Covid-19, pelaku tidak dapat lagi melakukan aktivitas tersebut hingga mengalami himpitan ekonomi.
Tindakan kriminal yang dilakukannya tergolong kejam dan sadis. Pelaku bersekongkol melakukan pemerasan dan penipuan kepada korban, hingga membunuh dan memutilasinya.
Kejadian itu barangkali bisa menjadi contoh bagi kita bahwa kecerdasan emosional juga penting, selain kecerdasan intelektual.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasa, 'what do I feel?'. Kecerdasan itu disebut EQ atau Emosional Quotient, dan itu tidak diajarkan di bangku sekolah SD, SMP, SMA atau bahkan sampai Universitas.
Kecerdasan lainnya yakni kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Questient atau Spiritual Inteligent). Itulah kemampuan untuk mendengarkan suara hati, hati nurani yang dalam sebagai seorang manusia dan memahami siapa jati diri dan suara hati fitrah yang terdalam atau 'who am I?'.
Sebagian dari kita terbiasa mengabaikan emosi dan terbiasa mengabaikan hati nurani sambil mengatakan bahwa emosi dan hati tidak berpikir tapi ini otak yang berpikir. Maka inilah yang terjadi. Seorang intelektual berpendidikan melakukan persekongkolan jahat hingga membunuh dan kemudian memutilasinya.
Peristiwa keji ini menyadarkan kita sebagai seorang guru muslim, ternyata tidak cukup mengajarkan anak kita, generasi kita hanya IQ saja. Nilai akademik, berdasarkan sebuat penelitian, hanya berperan 10–20% saja untuk tingkat keberhasilan seseorang.
IQ, EQ, dan SQ adalah kecerdasan paripurna yang harus dikombinasikan. Mengajar tanpa hati nurani, berarti tidak mengajar sama sekali. Kita mengetahui bahwa pendidikan dilakukan dengan hati lewat rasa kasih sayang, keikhlasan, keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan.
Guru sebagai seorang mualim, tidak dibatasi tempat dan waktu dalam mendidik murid sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Seorang guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para siswanya sepanjang waktu.
Demikian pula tempat pendidikannya, tidak terbatas hanya di dalam kelas saja. Dimanapun seorang guru berada, dia harus sanggup memainkan perannya sebagai seorang pendidik sejati. Seorang muallim (guru) profesional, seharusnya memiliki niat yang baik dan tulus dalam menjalankan profesinya.
Dalam perjalanannya, sebagai seorang guru profesional tidak mengharapkan imbalan atau balasan yang lebih baik dan lebih bagus dari profesinya. Menjadi guru, apabila tidak disertai dengan niat yang tulus, maka pekerjaannya hanya sebatas mendapatkan upah atau tunjangan guru/sertifikasi dari yang dikerjakannya, tak ada imbalan selain itu. Niat yang tulus sangatlah menentukan.
Jika bekerja sebagai guru dengan niat yang tulus ikhlas, maka akan mendapat 2 imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akhirat kelak. Di samping itu, kita akan mendapatkan peserta didik yang memiliki kecerdasan IQ, EQ, dan SQ yang seimbang sebagai hasil dari ketulusan kita sebagai seorang muallim (guru) dalam mengajar dan mendidiknya.
Siswa banyak meniru dan menaladani semua yang diperbuat oleh guru. Seperti semboyan pendidikan kita ing ngarso sung tulodho ing madyo mangun karso tut wuri handayani.
Sumber: AyoBandung
Komentar
Posting Komentar